Kisah Perjalanan Seorang Freddy Franciscus
Saya dilahirkan tahun 1960 di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di Tanjung Redeb Kabupaten Berau. Saya anak bungsu dari 7 bersaudara, almarhum ayah dan ibu saya mengelola warisan perkebunan kelapa seluas 40 ha di pulau Maratua yang masih kami kelola sampai saat ini.
Masa Kecil
Saya tinggal di Tanjung Redeb sampai th 1969 (sampai kelas 4SD) dan saat itu jalan utama di sana masih belum diaspal, kendaraan roda dua / sepeda jumlahnya masih bisa dihitung tangan dan yang paling bagus sepeda belanda milik missionaries / suster yang setiap hari lalu lalang di depan rumah saya menuju hutan / pedalaman untuk menyebarkan agama. Kalau ada hujan, sekolahan bubar karena banjir dan ruangan banyak yang bocor. Satu hal yang berkesan terkait kenakalan saya waktu kecil di Tanjung Redeb, saya main petak umpet dan ngumpet di dalam rok Ibu Guru, betul-betul unbelievable. Tapi herannya saya nggak di peringatin, maklum murid kesayagan.
Akhir 1969 kelas 4 SD naik kelas 5 saya pindah dari Berau ke Balikpapan ikut kakak no 3 yang menikah dengan seorang tentara lulusan AMN 1965. Sejak itu sampai sebelum masuk ITB saya ikut terus dengan perpindahan kakak ipar sampai SMA di Malang. Di Balikpapan saya masuk SD kelas 5 di SD RK St Mikail dan setengah tahun pertama disana saya harus berjuang keras untuk menyesuaikan ketertinggalan pelajaran, setelah itu lancar saja seperti air mengalir.
Satu dua bulan pertama di kelas 5 tersebut kakak saya selaku wali (karena ayah dan ibu di Tanjung Redeb) terus menerus dipanggil karena nilai berhitung saya mengkhawatirkan. Waktu kelas 4 SD di Tanjung Redeb berhitung masih belajar tambah kurang sedang di kelas 5 di Balikpapan bukannya kali bagi tapi sudah jauh lebih advance dan kombinasi ke soal cerita. Saya seperti berada di dunia lain, yang tadinya nilai berhitung seratus terus eh satu dua bulan pertama di kelas 5 di SD RK Balikpapan nilai berhitung saya berkisar di angka 4-5-6. Tapi Alhamdulillah berkat kerja agak keras yang saya lakukan untuk mengejar ketertinggalan pelajaran akhirnya saya mulai bisa menyesuaikan dengan materi pelajaran berhitung dan akhirnya naik kelas 6 dan lulus SD RK St Mikail dengan nilai yang bagus untuk ukuran anak pedalaman yang mengejar ketertinggalan mutu/materi pelajaran.
Satu pelajaran berharga buat anak daerah terpencil, beruntung anak-anak bangsa saat ini dimana mutu sekolah sudah lebih merata di seluruh pelosok tanah air. Makanya UAN harus disikapi dengan positif dan harus terus dilanjutkan, karena lewat UAN seluruh sekolah di seantero nusantara akan memacu diri untuk punya kualitas yang bagus dan setara.
Menurut saya, kepindahan saya dari Tanjung Redeb, Berau ke Balikpapan adalah titik penting yang kemudian bisa membawa saya sekolah di kampus kebanggaan ITB. Kalau saja kakak saya tidak menikah dengan seorang tentara (almarhum) maka kemungkinan besar SD-SMA saya sekolah di pedalaman terus dan kemungkinan masuk ITB akan lebih kecil.
Setelah lulus SD, saya masuk SMP St Mikail di sebelah SD St Mikail sampai kelas 2 dan kemudian (ikut kakak yang tentara) pindah ke Malang kelas 3 SMP St Yosef Oro-oro dowo, sekolah cowok semua. Karena mutu sekolahnya se level maka tidak ada masalah dengan pelajaran dan malah saya sangat menonjol dan lulusan terbaik (mungkin salah satu penyebabnya karena sekolah laki-laki semua jadi nggak ada waktu terbuang untuk lirak-lirik). Pikir-pikir, hebat juga anak pedalaman Kalimantan bisa jawara di Malang, Jawa Timur yang terkenal dengan kota pelajar.
Lulus SMP saya masuk SMAN 1 Malang, kawan-kawan yang lain (ex 5 besar SMP St Yosef) milih SMA Dempo atau SMAN 3 yang memang lebih nge top karena mungkin (?) saat itu mereka sudah berpikir atau diarahkan orang tua untuk persiapan masuk universitas terkenal di Indonesia. Sementara saya dengan lugu tanpa arahan dan pemikiran mau persiapan masuk universitas terkenal masuk SMAN 1 dengan alasan kakak saya no 6 (almarhumah) sekolah disitu juga dan bisa ngirit untuk beli buku, karena zaman saya SMA dulu buku2 masih bisa diwariskan ke adik kelas. Dari kelas 1 s/d kelas 3 SMA selalu juara kelas, tapi nggak pernah juara 1 umum karena mungkin sudah banyak lirak-lirik hehehe. Pertengahan tahun saat kelas 3 SMA, saya ditawarin oleh kepala sekolah untuk ambil PMDK ITB (hanya jurusan MIPA) atau IPB pilih salah satu. Saya pengen masuk ITB (sekali lagi tanpa arahan siapa-siapa dan tanpa test minat bakat) tapi bukan jurusan MIPA maunya jurusan Teknik Perminyakan supaya bisa kerja di Pertamina makanya saya tidak ambil jalur PMDK. Saya sangat berminat kuliah di Teknik Perminyakan ITB dan kerja di Pertamina karena waktu saya sekolah SD-SMP di Balikpapan sering belajar dan main bareng di rumah anak orang Pertamina, yang selalu teringat adalah keindahan rumah dinas mereka di Gunung Dups Balikpapan rumah tanpa pagar dan rumput hijau mengelilingi rumah oh indahnya.
Setelah lulus SMAN 1 Malang dengan menyandang juara umum 2, saya ikut test Sipenmaru di Malang dan diterima di ITB, betap besarnya kuasa Allah SWT yang telah memberikan jalan buat hambanya dari pedalaman Kalimantan timur yang mau enaknya saja seperti saya. Kenapa saya bilang saya orang yang mau enaknya saja, karena saya anak bungsu dan kalau minta apa-apa selalu dituruti oleh ortu dan kakak2 dan selain itu semasa sekolah sampai dengan kuliah saya tidak mau cape-cape ikut kegiatan ekskul yang tidak wajib. Saya enjoy dengan dunia saya sendiri terutama pacaran, hehehe. Malah saat sudah bekerja saya diberikan lagi nikmat lebih untuk disekolahkan S2 MMUI gratis oleh Pak Rudy Setyopurnomo atas biaya Garuda Indonesia. Subhanallah maha suci Allah.
Di ITB walaupun saya sangat ingin masuk jurusan Teknik Perminyakan, tapi saat kuliah Tahun Pertama Bersama (TPB) saya mendengar dari senior dan dosen bahwa minyak akan segera habis dan Pertamina sudah mulai mengurangi penerimaan pegawai, dan herannya saya dan beberapa kawan lain yang sama keinginannya percaya saja dengan cerita tersebut. Semangat juang agak mengendor. Tapi saya pernah punya keinginan lain jika saya tidak diterima di ITB maka akan sekolah Pilot seperti yang pernah dicita-citakan oleh kakak saya no 5, maka akhirnya secara sadar saya masuk Mesin Penerbangan yang saat itu masih bersatu dengan jurusan Mesin. Andaikata saya tidak mau percaya begitu saja dengan cerita tentang kelangkaan minyak di Indonesia dan memaksa terus masuk jurusan Teknik Perminyakan, mungkin saya sudah, sedang atau akan menjadi dirut pertamina hehe. Tapi sekali lagi Allah SWT maha adil dan maha mendengar, secara kebetulan saat ini saya dipercaya menjadi orang no 1 di CUCU Perusahaan Pertamina, yaitu di bengkel pesawat PT Indopelita Aircraft Services. Saya percaya bahwa semua kejadian sudah ada yang mengatur, jadi kalau kita sudah berusaha sebaik-baiknya maka hasilnya serahkan kepada sang Khalik.
Masa Perkuliahan
Setelah berhasil masuk ITB melalui jalur test sipenmaru di Malang, saya dengan penuh rasa bangga berangkat ke Bandung untuk pendaftaran ulang dan sekaligus cari tempat kos. Dapat tempat kos di Tirtayasa 9, bekas tempat kos kakak no 5 waktu dia ikut bimbel untuk persiapan test masuk ITB. Kakak saya, walau saya tahu persis dia punya kepintaran dan skill teknisnya sangat unggul, tapi karena mungkin sekolah SD-SMA di Tg redeb dan Samarinda maka akhirnya tidak lolos bersaing masuk ITB walau sudah mengikuti bimbel selama 1 th di Bandung, akhirnya dia sekolah di STPI Curug dan dapat S1 dari UNJ . Manusia berusaha dan hasilnya pasti atas kehendak yang maha pengatur Allah SWT. Saat ini kakak saya no 5 bekerja di Berau Coal yang artinya pulang kampung halaman untuk sekalian menjaga perkebunan kelapa warisan nenek moyang. Kalau beliau alumni ITB mungkin akan segan untuk bekerja di pedalaman tg redeb, hehehe.
Waktu di TPB/T10 th 1979, saya menjalani perkuliahan dengan datar-datar saja walaupun diwarnai lika-liku kehidupan sebagai mahasiswa perantau. Ada penyesuaian cukup drastis yang harus saya lakukan dalam kebiasaan sehari-hari saya , yaitu kalau biasanya saya dilayani mulai bangun tidur sampai mau tidur, di tempat kos di Bandung saya harus merapikan tempat tidur, buat minum sendiri dan kalau belajar harus duduk di kamar padahal terbiasa bebas bergerak dalam rumah. Walaupun susah tapi perlahan-lahan saya bisa menyesuaikan diri menjadi anak rantau yang mandiri. Yang sangat berkesan dalam proses adaptasi tersebut saya mulai belajar hidup bersosialisasi karena di kelas saya bergaul dengan teman-teman dari Sabang sampai Marauke dengan variasi tingkah lakunya. Saya mulai memahami dan menyadari pentingnya komunikasi dan interaksi. Padahal sebelumnya saya orang yang asik dengan dunia saya sendiri dan mau enaknya sendiri serta tidak suka bersosialisasi (tapi bukan anti sosial).
Setelah beberapa saat mengikuti TPB, setelah hasil-hasil test mulai diumumkan, saya sadar bahwa memang benar seperti banyak orang bilang bahwa ITB tempatnya orang-orang pintar dan extra ordinary. Saya yang terbiasa sejak SD-SMA dengan nilai di kelompok atas, sejak di TPB rasa-rasnya sudah mulai terlempar dari kelompok tsb, memang betul diatas langit masih ada langit, hehe. Ada beberapa orang di T10 angk 79 yang nilai akademisnya extra ordinary, maksudnya setiap ada pengumuman hasil ujian nilai mereka hampir selalu A, tentunya saya di luar kelompok itu. Seorang teman yang saya ingat termasuk dalam kelompok itu adalah Teddy Koswara Elektro 79 yang sampai saat ini masih bekerja di Garuda Indonesia. Tapi bagaimanapun hebatnya nilai akademis dia waktu di ITB, saya pernah menjadi atasan (tidak langsung) beliau di SBU IT Garuda Indonesia. Saya lulus TPB di atas rata2 kelas tapi yang pasti masih di luar kelompok extra ordinary di T10.
Lulus TPB saya memilih Jurusan Mesin Penerbangan, walaupun sebenarnya ada keinginan kuat untuk memilih Teknik Perminyakan supaya bisa bekerja di Pertamina dan punya rumah di gunung dups Balikpapan, tapi keinginan tersebut tidak saya paksakan dengan alasan sederhana yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Semester 3 sampai 6 saya mengikuti kuliah mata pelajaran mesin umum dengan normal dan datar-datar saja, hasilnya sedikit di atas rata-rata.
Semester 7 sampai 9 mulai kuliah dengan materi ilmu Mesin Penerbangan. Di sinilah mulai dinamikanya, hehehe didramatisir. Pada minggu pertama perkuliahan di Mesin Penerbangan saya sudah mulai mendengar gosip atau selentingan kalau kuliah di Mesin Penerbangan lama lulusnya. Wah dalam hati perkawinan bisa tertunda lebih lama, makanya dari awal harus usaha keras dan cari jalan agar bisa lulus secepat mungkin. Tapi ternyata setelah beberapa kali mengikuti kuliah mata pelajaran dari Pak Diran, Pak Harijono Djojodihardjo, Pak Sulaiman Kamil, Pak Cosmas Pandit, Pak Said DJ (almarhum), Pak Rachmat (?) saya rasakan tidak seangker yang digosipkan orang-orang. Suasana normal-normal saja seperti semester-semester sebelumnya. Asalkan rajin kuliah, mendengarkan , baca buku dan tanya ke asdos kalau nggak ngerti maka hasilnya lancar saja.
Dinamikanya mulai terasa saat memasuki semester 8 mengambil tugas perancangan pesawat dari Pak Diran. Kenapa saya katakan demikian karena walaupun saya selalu melakukan asistensi secara rutin dan dengan penuh semangat tapi tugas perancangan pesawat saya tidak selesai dalam 1 semester dan baru selesai 2 tahun (ekivalen 4 semester), itupun dengan sedikit maksa pakai ilmu Out of The Box, wow suatu pengalaman yang tak terlupakan dan belum pernah saya alami sebelumnya. Apalagi dalam setiap asistensi di ruang angker beliau, selain pertanyaan-pertanyaan tajam dan dingin dari beliau, satu hal yang saya nggak pernah lupa adalah kebiasaan beliau mengangkat ke dua kaki ke atas meja, katanya ambeiyen, hehe pis Pak Diran. Tapi kalau asistensi di rumah, beliau nggak angkat kaki mungkin takut sama Ibu, hehe sekali lagi pis Pak Diran. Karena kenangan-kenangan indah itulah saya menghadiahi Pak Diran sebuah Mandau agar beliau ingat terus bahwa pernah punya murid yang bandel bernama Freddy dari pedalaman Kalimantan Timur. Akan tetapi tugas perancangan pesawat dengan Pak Diran membawa satu hikmah pada saya (dan mungkin juga murid-murid Pak Diran yang lain) bahwa saya jadi sangat menguasai ilmu perancangan pesawat secara komprehensif.
Tugas akhir (TA) saya tentang Perancangan Mesin Helikopter, dengan pembimbing Pak Wiranto Arismunandar, saya kerjakan dalam waktu sekitar 4 bulan. Kenapa bisa cepat mungkin salah satu alasannya karena sudah ditempa Pak Diran dalam tugas perancangan pesawat. Sebenarnya semester 9 saya (berdua dengan Soerjanto Thahyono) sudah mulai mengerjakan TA dengan Pak Harijono Dj, tapi dalam perjalanannya kemudian Soerjanto Tj terus dengan Pak Harijono Dj sementara saya pindah/membelot dengan alasan semata-mata agar bisa lulus lebih cepat dan segera nikah. Begitu sederhana alasannya, akhirnya saya memberanikan diri menghadap ke Pak Harijono Dj untuk pamitan. Saya betul-betul anak pedalaman bandel yang maunya enak saja.
Ada satu hal yang menarik terkait dengan pembelotan saya, suatu hari saya dengar dari teman seangkatan bahwa Pak Diran pernah menanyakan kepada teman saya tersebut “kenapa Freddy ambil tugas akhir ke Pak Wiranto Arismunandar, mau cepat lulus dan mau cepat nikah yah?”. Hehehe, kalau benar Pak Diran pernah bertanya seperti itu dengan segala hormat saya jawab betul Pak, saya pada saat itu hanya berpikir bagaimana cepat lulus dan kemudian nikah.
Adalagi cerita unik masih kaitannya dengan TA saya, yakni waktu saya menghadap (Alm) Pak Said DJ di IPTN untuk mengundang beliau dalam sidang TA saya. Waktu beliau buka-buka lembaran TA, dengan dingin beliau tanya : berapa lama ngerjain tugas akhir ini Dik? Saya dengan mantap menjawab sekitar 4 bulan Pak. Beliau menimpali dengan rasa kaget, “Apa ? 4 bulan ?, kalau dengan saya tugas perancangan mesin helikopter seperti ini minimal 2 tahun baru selesai.” Nyep, saya terdiam dengan perasaan galau dan khawatir. Kegalauan dan kekhawatirn saya tersebut terjawab dalam sidang TA, tapi biarlah cerita tersebut menjadi bagian privacy dari cerita hidup saya, seorang anak pedalaman kalimantan timur yang bandel dan kadang nekat, hehe.
Saya lulus Mesin Penerbangan angkatan 79 pertama Th 1985 berdua dengan Aldamanda A Lubis, hanya bedanya Alda mengerjakan tugas perancangan pesawat dan TA di German yang kemudian diendorse oleh ITB. Setelah lulus saya ditawarin Pak Sulaiman Kamil kerja di IPTN, tapi saya tidak berminat karena pernah beberapa kali datang ke IPTN untuk cari data dan saya melihat banyak pegawai yang ngobrol ngalor ngidul saat jam kerja dan banyak sekali orang-orang pintar. Saya pikir kalau saya kerja disana dalam kondisi seperti itu, maka akan semakin membebani IPTN. Terlalu banyak orang pintar yang tidak optimal utilisasinya, padahal mungkin kerjaan banyak.
Semasa kuliah dari th 79-th 85 saya termasuk mahasiswa yang tidak terlalu banyak aktivitas di luar perkuliahan wajib. Selain aktivitas rutin saya, yaitu Kuliah-Amy Football/Pingpong-Pulang ke kos2an, saya juga ikut kegiatan STEMA (Study Teater Mahasiswa). Sempat beberapa kali ikut pentas STEMA di lapangan basket, rata-rata temanya menyeramkan, dan sempat meneriakkan “turunkan Soeharto”. Untung saja tidak di black list, karena mungkin mereka (para intel) tahu ini tuntutan skenario dan yang berteriak masih bau kencur serta bukan tokoh gerakan mahasiswa.
Selain kuliah di ITB saya juga kuliah di MMUI th 90 (kuliah sore) lewat program bea siswa Garuda Indonesia yang dicanangkan Pak Rudy Spur. Ada sekitar 20 orang teman satu angkatan MMUI th 90 dari Garuda Indonesia yang lolos setelah melalui test EPT (English Proficiency Test) dan TPA (Test Potensi Akademik), yang saat ini beberapa diantaranya sudah duduk diberbagai posisi penting di Garuda Indonesia/GMF, salah satunya adalah Pak Richard BS (CEO dan President Director GMF Aeroasia). Jadi saat ini ada 2 orang teman seangkatan MMUI yang jadi direktur utama di Bengkel Pesawat Udara, selain Pak Richard BS tentunya adalah saya sendiri. Wih gaya bener anak pedalaman ini.
Saya lulus MMUI dengan nilai di atas rata-rata dan IP tertinggi dari 20 orang teman seangkatan utusan Garuda Indonesia. Pikir-pikir hebat juga anak pedalam kalimantan timur yang satu ini, betul-betul dahsyat istilah Pak Indar Atmoko.
Saya ingin sekali melanjutkan pendidikan S3 ambil jurusan strategi manajemen FEUI, mudah-mudahan diberikan jalan dan kelancaran oleh Allah SWT. Untuk bekal pensiun nanti.
Meniti Karir
Setelah lulus ITB, karena sejak awal saya tidak tertarik masuk IPTN, heading saya cari kerja ke Jakarta. Mendaftar ke Garuda Indonesia setelah di info teman ada lowongan. Setelah ikut test beberapa tahap selama 5 bulan kami di terima di PT Garuda Indonesia ber 20 orang satu angkatan (dari sekitar 500an pendaftar ?). Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT.
Sebenarnya sebelum di terima di Garuda Indonesia saya juga mendaftar ke SDKU (Sub Direktorat Kelaikan Udara), yang namanya kemudian berubah jadi DSKU (Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara) dan sekarang menjadi DKUPPU (Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara), dan di terima untuk menjadi capeg setelah di test oleh Pak Wahyono dan saya di minta untuk segara mengurus kartu kuning (kartu calon pegawai negeri). Tapi saat itu saya bimbang karena waktu saya datang ke kantor SDKU, kebetulan habis turun hujan, saya melihat ada genangan air tanah di depan pintu masuk dan waktu masuk ruangan juga terasa agak pengap. wah first impression yang kurang baik . Selain itu Pak Wahyono juga menjelaskan tentang gaji THP yang sekitar Rp.75.000,-/bln dan beliau bilang saya sebaiknya nyambi jadi dosen seperti beliau agar ada tambahan untuk hidup sehari-hari, wih betul-betul hebat pegawai negeri yang hidup penuh pengabdian. Kebetulan sehari setelah saya di panggil Pak Wahyono ada pengumuman bahwa saya di terima di Garuda Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk bekerja di Garuda Indonesia.
Setahun pertama di Garuda Indonesia kami bekerja sebagai mekanik untuk orientasi/praktek ilmu perawatan pesawat dan bekerja 3 shift (pagi, siang malam). Pekerjaan perawatan pesawat walaupun tidak (secara langsung) memakai ilmu perancangan pesawat, tapi basic ilmu yang diajarkan dijurusan penerbangan ITB membantu melancarkan pekerjaan, terutama yang kaitannya dengan modifikasi-modifikasi besar baik airframe maupun komponen.
Baru 2-3 bulan praktek sudah mulai ada penugasan ke daerah untuk handle pesawat di line maintenance/apron, kemudian masuk musim haji tugas ke daerah-daerah embarkasi haji setelah itu saya ditugaskan ke KLM Amsterdam untuk ambil alih C Check (perawatan kategori sedang) agar bisa dikerjakan sendiri oleh Garuda. Wow kenangan indah tahun pertama yang sulit untuk dilupakan, sampai-sampai kami di juluki mekanik eksekutif karena baru kerja hitungan bulan sudah dapat tugas menghandle kerjaan mekanik ke daearah dan ke luar negeri.
Tahun ke-2 dan ke-3, 1987-1988, setelah melalui penggodokan sebagai mekanik eksekutif saya ditempatkan di bagian engineering, dilalui dengan berbagai penugasan ke daerah dan ke luar negeri.
Kami satu angkatan ber 20 memang langsung di bawah pembinaan Pak Rudy Spur . Walaupun ada godaan untuk cari kerja di Indosat, Astra dan IBM yang gajinya lebih besar dari Garuda tapi saya tidak tertarik karena pak Rudy sebagai kepala divisi maintenance saat itu telah menyiapkan development program yang bagus.
Tahun ke-4 di Garuda, yaitu pertengahan 1989, saya dikirim oleh Garuda/Pak Rudy Spur untuk mengikuti training B737-300 ke Seattle selama 2 bulan. Hampir semua mata pelajaran saya dapat 100 kecuali satu mata pelajaran dapat 95 yaitu ATA (Air Transport Association) Chapter Pneumatic kalau nggak salah, nilai saya hanya kalah dari seorang Instruktur yang memperoleh nilai sempurna 100 di semua ATA Chapter.
Mungkin karena nilai saya yang bagus maka kemudian pada hari-hari terakhir training saya menerima berita via telex dari Jakarta bahwa saya di minta Garuda/Pak Rudy Spur untuk tetap di Seattle untuk menjadi wakil Project Manager selama 1 bulan untuk pengambilan pesawat B 737-300 pertama registrasi PK-GWA. Oh betapa kuasanya Allah SWT yang maha pemberi. Kemudian setelah selesai perakitan pesawat saya ikut terbang “ferry flite” PK-GWA dari Seatlle ke Jakarta, dua minggu setelah mengantar pesawat pertama saya berangkat lagi ke Seatlle karena ditugaskan sebagai Project Manager pesawat ke dua registrasi PK-GWC selama 2 bulan. Betapa indah dan nikmatnya. Tugas-tugas itu saya laksanakan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.
Pulang dari Seattle, akhir th 1989 saya di angkat sebagai kepala seksi Purchasing di Material Department (waktu itu kepala Material Department disebut kepala subbidang, satu level diatas kepala seksi), dan kemudian th 1992 di angkat sebagai kepala seksi quality assurance.
Tahun 1994 terjadi perubahan haluan karier saya di Garuda, saya dipromosiin dan ditugaskan sebagai Kepala Dinas operasi di Biro Sistem Informasi, kepala Bironya adalah Pak Sunarko Kuntjoro teman seangkatan Pak Rudy Spur. Padahal saya tidak ada background IT, hanya berbekal satu semester pelajaran MIS di MMUI. Tapi yang namanya anak ITB, karena biasanya IQ di atas rata-rata, yah dengan sedikit kerja keras akhirnya dengan cepat bisa menguasai putaran PDCA (Plan Do Check Action) business process di Biro Sistem Informasi.
Saya nggak tahu kenapa sampai nyebrang ke bagian IT, tapi menurut info terpercaya saya dipromosiin oleh Pak Richard BS. Cukup lama saya berkarya di IT GA dan hasil yang paling fenomenal adalah saat menjadi Pimpro Y2k tahun 2000 sukses membawa IT systems Garuda melewati detik-detik perpindahan th 2000 ke th 2001. Selain itu juga sukses sebagai anggota tim meng-SBU-kan IT Department dan sukses menjadi ketua tim dalam memperoleh ISO 9001.
Tahun 2003 saya sempat “magang” sebentar di Merdeka Selatan 13, kantor lama Garuda yang sekarang menjadi kantor BUMN. Tapi kemudian awal tahun 2004 saya ditarik ke Abacus (penyedia software resrvasi airlines) anak perusahaan Garuda oleh Pak Samudra Sukardi. Menjadi bagian dari BOM di Abacus.
Tgl 19 Feb 2007, sekitar satu tahun setelah Pak Samudra Sukardi menjadi Dirut Pelita Air Services, saya dilantik menjadi dirut Indopelita Aircraft Services. Tapi jangan lupa hal itu semata-mata karena hubungan professional tidak ada kolusi dan nepotisme, karena mungkin beliau cukup puas dengan kerjaan yang saya lakukan selama menjadi anak buahnya. Prosesnya pun panjang, saya harus ikut assessment oleh konsultan Pertamina kemudian ikut fit and proper test secara terbuka dan diikuti beberapa kandidat.
Di Indopelita merupakan pengalaman yang sangat berharga karena sebelumnya lebih banyak berpola pikir cost centre sementara sejak menjadi orang no 1 di Indopelita saya harus berpikir profit centre agar bisa menghidupi sekitar 150 karyawan bersama keluarganya, disamping juga harus tetap menjamin kualitas pekerjaan perawatan pesawat yang dikerjakan di Indopelita memenuhi standar yang ditentukan. Sampai saat ini memasuki th ke-3 saya menjadi direktur utama Indopelita, mudah-mudahan amanah ini dapat saya jalani dengan baik dan lancar. Amin.
Hal Hal Penting lainnya
Istri saya orang Sunda dari Kuningan kelahiran Cimahi. Kuliah di UKI jurusan Hukum. Anak saya 3 orang, perempuan semua. Anak no 1 dan 2 kuliah di UI, dan anak no 3 masih klas 1 di SMAN 34 pondok labu. Si bungsu selalu mengikuti jejak kedua kakaknya, mulai dari TK-SLTP di Al-Izhar Pondok Labu, kemudian SMAN 34 dan katanya juga mau masuk UI, Amin ya Allah ya Robb. Jadi nggak ada yang mengikuti jejak bapaknya masuk ITB, selain nggak mau jauh dari Ibunya juga karena memang dari test minat bakat nggak ada yang minat dan bakat teknik. Puji dan syukur saya selalu panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat pada saya dan memberikan saya seorang istri dan 3 anak yang sehat dan sholehah. Saya banyak belajar arti kehidupan dan silaturahmi dari istri tercinta. Karier saya banyak di support oleh “aura”nya istri, mungkin karena dari kecil ngaji di pesantren dan orangnya memang baik luar dan dalam.
Dalam bekerja saya punya prinsip semua kerjaan di selesaikan di kantor dan bekerja secara smart dan sedapat mungkin bekerja sesuai jam kerja normal Senin-Jumat. Sabtu siang sampai minggu adalah hari buat istri dan anak-anak. Olah raga golf Rabu pagi atau Jum’at pagi atau Sabtu pagi.
Saya bekerja bagaikan air mengalir saja, kerjakan sebaik-baiknya apa yang harus kita kerjakan saat ini, setelah selesai kerjakan tugas selanjutnya juga dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa hormati orang tua dan minta doa mereka, sayangi istri dan minta doanya dan cintai anak-anak tapi tidak memanjakan berlebihan. Selebihnya serahkan kepada Allah SWT dengan ikhlas dan tulus.
Anak muda bangsa ini harus punya keberanian untuk bisa merubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, terutama bisa merubah yang “hitam dan abu-abu” menjadi “putih”.
Saya masih ingin terus memperbaiki diri menjadi orang dan pimpinan yang lebih baik dan dapat merubah lingkungan menjadi jauh lebih baik, Mudah-mudahan saya masih terus diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk membuktikannya.
Itulah kisah yang bisa saya share dan saya tulis dalam rangka Alumni Gathering 19 Des 2009. Semoga ada manfaat buat saya dan kita semua. Amin.
Salam,
Freddy Franciscus,
President Director PT Indopelita Aircraft Services
Iya…dooong…..kalo ga hebat kan bukan om nya Ria……
Fred kamu pintar juga cerita aku baru tau kamu pernah nyumput dalam rok bu guru meski pun aku kakakmu he he he .