Pendidikan Teknik Penerbangan dan Industri Dirgantara di Indonesia
Interview dengan Prof. Oetarjo Diran, vi.
Prolog
Bambang Irawan Soemarwoto: Kebetulan menemukan buku International Cooperation between Politics and Practice yang ditulis Mei Li Vos (2001). Dalam buku itu ada bagian yang berjudul ‘Indonesian – Dutch Cooperation in the Aerospace Industry’ yang isinya:
“… about a long standing cooperation (1979-1999) in aerospace industry between Indonesia and the Netherlands. The initial objective of the first part of the program, the TTA-79 project, was to design, construct and operate the Indonesian Low Speed Wind tunnel (ILST) at the national research centre in Serpong, south-west of Jakarta. Also, included in the project’s objectives were human resource development and support for the department of mechanical engineering at the Institute of Technology in Bandung (ITB). In the course of years the cooperation in aerospace industry underwent changes and focus …”
Bagian yang hanya 15 halaman ini diakhir dengan paragraf menarik:
A close friend of president Habibie is sombre about past endeavours and what it has led to in 1999. Looking back on the decision to build an Indonesian aerospace industry, he summarized the problem:
“In hindsight it may have been wrong. We got help from everybody … They knew that we could not compete anyway. They said you can do it and so we did it. Habibie thought that we had a critical mass of professional people to build up an industry … But it was absurd, far from the Indonesian reality. We did not know at the time. We thought we had the money, everybody said we had to do it … We forgot the time factor and culture factor. It needs time, we cannot do it in ten years. We are very slow, the organizing knowledge and experience is very low. I am not going to blame the Dutch, but we have never had the mandate to think.”
(interview with Prof. Oetarjo Diran, 3 February 1999)
Short communication
Cuplikan di atas dibahas lagi dalam milis penerbangan, dan mendapatkan tanggapan dari Prof Diran (OD).
OD: Yes, Pak Bambang. I am still of the opinion that we have to do because others think that we can do it, or have to do it. It must come from conviction, from our firm conviction, from our passionate resolve, from an inspiring thought or feeling, from the need to achieve for the benefit of all.
And by the way, ‘Mbang, Mei Li belum memberi copy buku yang dijanjikannya [itu]. (11 April 2010)
Hari Tjahjono: Kaitannya dg pendidikan di PN ITB, apakah ini berarti bahwa sejak dulu Bapak berpendapat bahwa PN ITB tidak akan mampu menghasilkan cukup lulusan utk membangun industri penerbangan seperti IPTN? Kalau ya, mengapa IPTN (waktu itu) tetap penting? Tentang pendidikan di PN ITB, terus terang saya dulu kuliah di PN ITB bukan karena ingin bekerja di IPTN. Makanya saya tidak pernah mendaftar masuk IPTN setelah selesai kuliah. Lalu belajar ilmu penerbangan untuk apa? Bukankah itu memboroskan subsidi pemerintah untuk biaya pendidikan saya selama di ITB? (11 April 2010)
OD (11 April 2010): Tidak, Pak Hari. Tidak khusus tentang PN ITB atau PTDI. Membangun industri aerospace memerlukan sistem industri yang merupakan suatu multiple-helix dengan unsur-unsur professional human resource di berbagai bidang industri aerospace seperti law and regulations, research institutes, education, government, politics, the supply chain of supporting modern technology for aerospace systems or products. etc. The whole spectrum must be at our disposal. Last but not least, a robust political, legal and financial system. Yes, we can build up the PTDI by then. And now, yes we can design and build an aircraft, e.g. CN235, N250 and other aircraft as well. Now and in the future: that is my firm believe and conviction. Lulusan PN ITB were and are educated professionals. (12 April 2010)
OD (12 April 2010): Saya ingin tambah sedikit untuk penambahan klarifikasi sebelumnya tentang statement tahun 1999 yang saya katakan sebagai bagian diskusi antar calon doktor [Mei Li Vos] dan saya sebagai narasumber sebagai berikut:
Pagi ini, pre- dan post-subuh Pak Hari, saya ingin teruskan klarifikasi yang saya batasi tadi malam karena jauh larut malam setelah hari minggu yang sebagian waktunya dilalui di masa kenangan dari ketika memasuki pertama kali pintu gerbang dengan karakter khusus di tengah bangunan bernuansa paduan arsitektur barat dan timur yang mengarahkan pandangan mata ke gunung Tangkuban Perahu melalui bentangan lapangan rumput hijau dan pohon-pohon tinggi berbatang kokoh ke pegunungan Priangan yang masih terselimuti kabut tebal. Wah, ini dia istana ilmiah dan teknik tempat yang saya impikan akan menikmati pendidikan menjelajah dunia ilmu dan pengetahuan, to discover and satisfy one’s curiosity, untuk mengerti, mengetahui, membangun dan mencipta, to understand, to know, to create.
Saya hanya satu bulan menikmati kehidupan kampus, karena dipanggil kementerian pendidikan dan kebudayaan (tanpa batasan-batasan nasional) untuk mengurus keberangkatan membuka dunia ilmu, pengetahuan dan teknik (belum ada ide teknologi saat itu dalam benak seorang lulusan SMA).
Pada akhir bulan november 1952 dengan hati berdebar-debar [saya] menginjakkan kaki pertama kalinya di pelataran pelabuhan Amsterdam, setelah 21 hari berlayar dari Tandjung Priok, disambut hujan dan angin kencang. Malam itu [kami] berkumpul dalam tempat penampungan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di dekat gedung parlemen Belanda di tengah kota Den Haag, rumah tua buatan abad ke-18, dengan kamar dingin, selimut yang menurut perasaan saya terlalu tipis, dan alamat yang luput dari ingatan saya saat ini.
Keesokan hari mendaftar di Technische Hoogeschool Delft, yang dapat dikatakan merupakan contoh dari Technische Hoogeschool Bandung, kantor pusat di Julianaalaan, gedung yang mengesankan keseraman budaya barat, dengan menara yang tinggi di satu ujungnya. Tanpa ujian nasional atau apapun. Dari delapan calon mahasiswa teknik, tujuh akan mengikuti pendidikan teknik perkapalan (scheepsbouwkunde) dan hanya saya satu-satunya calon mahasiswa teknik penerbangan (vliegtuigbouwkunde). Total mahasiswa teknik penerbangan angkatan saya di afdeling Vliegtuigbouwkunde adalah 12 (duabelas) orang. Empat mahasiswa ikatan dinas angkatan perang (Alm. Banuarli, Alm. Yuwono, dan Sukendro Wardoyo) dan satu ikatan dinas kementerian pendidikan dan kebudayaan [saya].
Di menara di ujung gedung panjang itulah ternyata saya akan mulai di semester dua tahun pelajaran 1952-1953 sampai selesai di tahun semester pertama tahun 1957-1958. Masih ingat bahwa ruang gambar ada di lantai tertinggi sekian puluh meter, tanpa lift. Dengan pandangan mata sampai cakrawala ladang-ladang hijau pertanian dan perternakan, dengan boerderijen en landerijen, dan tentunya kincir-kincir angin yang memberikan kesan khas lingkungan fisik Belanda.
Dus, demikianlah saya memasuki dunia penerbangan sampai saya pensiun tahun 2004. Beruntung sekali saya memang tidak pernah keluar dari lingkungan penerbangan. Dari mahasiswa, pendidik peneliti ilmu-ilmu aeronautika, sebagai profesional di industri penerbangan (operations, design and manufacture), sampai pada saat menekuni penelitian sebab-sebab kecelakaan transportasi udara.
Tetapi dongeng panjang lebar di atas ini hanya untuk mengarahkan pemikiran pada masalah-masalah PTDI, dan pendidikan tersier bidang penerbangan (dengan istilah gagah ‘aerospace’), yang diawali email Pak Bambang Soemarwoto mengenai statement pada saat saya menjadi narasumber disertasi Mei Li Vos, seorang Belanda, yang diteruskan atas permintaan klarifikasi yang ditulis dalam email pak Hari Tjahjono
” ….apakah ini berarti bahwa sejak dulu Bapak berpendapat bahwa PN ITB tidak akan mampu menghasilkan cukup lulusan utk membangun industri penerbangan seperti IPTN? Kalau ya, mengapa IPTN (waktu itu) tetap penting?
Pertanyaan yang menarik, karena saat ini sedang hangat diskusi tentang pendidikan dan dunia industri dan bisnis, baik di kalangan alumni teknik penerbangan dan alumni teknik mesin dan kedirgantaraan.
Pada saat-saat akhir tahun 70an saya diminta Pak Habibie untuk membantu membangun industri pesawat udara, dengan dukungan politik dan keuangan pemerintah (full political and financial back up). Dua hal yang dibebankan kepada saya: to build up the aeronautical research capability, and to lead the engineering design pesawat udara yang akan dibuat dalam suatu usaha risiko bersama (risk sharing antara CASA dari Spanyol dengan PT Industri Pesawat Udara Nasional).
Sesuatu yang sangat menantang seorang dosen di lembaga dengan alamat Jalan Ganesha 10 yang pernah bermukin di Jerman Barat, bekerja sebagai peneliti di Divisi Forschung und Technologie (penelitian dan teknologi) industri pesawat udara Messerschmitt-Boelkow-Blohm (Hamburg).
Saya ingat bagaimana sebaga chief design engineer mengembangkan sumber daya manusia perancangan dan pengembangan, mengajak teman-teman dari Institut Teknologi Bandung untuk berpartisipasi (seperti Iskandar Alisyahbana, John Semaun, Wiranto Arismunandar, Harsono Wiryosumarto, dan lainnya) dan calon-calon lulusan ITB (yang saat ini tersebar luas di seluruh dunia, sebagai top management di PTDI, LAGG, dan lainnya).
Pak Hari, semua ini menunjukkan bahwa ditinjau dengan pandangan sekilas, ternyata memang profesional industri pesawat tidak hanya merupakan lulusan teknik penerbangan. Banyak ilmu sebagai design engineer dalam program perancangan dan pengembangan pesawat udara atau sistem penerbangan datang dari barbagai penjuru cakrawala ilmu, pengetahuan dan teknologi. Pendidikan teknik penerbangan an sich, sulit akan dapat menyaingi profesional ahli perancang sistem navigasi yang diharapkan dapat dihasilkan pendidikan elektro, atau ahli perancang sistem pendorong, yang harus dihasilkan pendidikan mesin propulsi.
Secara sempit, dus, jurusan teknik penerbangan tidak akan dapat menempati atau menangani kebutuhan profesional design engineer-nya sendiri.
Namun saya yakin dan harus mengusahakan bahwa sebagai professional design engineer dalam ilmu, pengetahuan dan teknologi khusus sistem penerbangan (seperti aerodynamics, design of aerospace systems as part of the whole integrated design), sebagai system integrator, maka lulusan teknik penerbangan adalah profesional yang diharapkan dapat menguasai tugas perancangan pesawat atau sistem pesawat penerbangan dan lapangan kerja dalam bidang-bidang khusus tadi. Di bidang organisasi dan manajemen, mungkin lulusan teknik penerbangan harus bersaing dengan lulusan teknik industri. Interior cockpit and cabin design, lulusan teknik penerbangan bersaing dengan lulusan teknik ergonomi dan seni rupa, dan sebagainya. Landing gear juga merupakan bidang khusus yang hanya merancang landing gear design and manufacture.
Anekdot kecil: seorang guru besar teman dari jurusan perancangan di pendidikan seni rupa menyatakan bahwa lulusan industrial design pasti akan dapat mendesain pesawat udara yang bagus. Well ……
Kembali, lulusan teknik penerbangan akan merupakan striker, pemain utama dalam perancangan sistem yang terintegrasi untuk mencapai optimum performance, baik dalam industri manufaktur, operator, maintenance, dan sebagainya.
Alasannya adalah karena the soul, the spirit and the mindset yang seyogianya dimiliki seorang aeronautical atau aerospace engineer didikan teknik penerbangan. Bila dilihat the famous design engineers are hobbyist by nature, mencintai penerbangan, they love flying, dan tidak semata-mata melihat kemampuan profesionalnya sekedar mencari uang (seperti Gayus dan markus-markus lainnya). Apakah anda tidak tergetar hati untuk melihat Airbus A380 mengangkasa, atau pesawat Shukoi menggelegar menukik melakukan manuver-manuver mencengangkan dengan terbang melewati batas-batas stall phenomena, 9g turns, afterburner straight up climbs?
That, Pak Hari, is what flying is all about.
Pemikiran sangat wajar dan sangat tepat waktu serta sangat urgent; a sustained evergrowing issue yang selalu diamati dan dialami system pendidikan (nasional dan internasional); the adaptation of any system of education taking into consideration the fast changing world and needs and wants.
Apakah kita harus mengikuti economic and political demands (link and match)?
Tapi ini sedang dibicarakan dalam mailing list, dan saya hanya ingin menikmati argumentasi- argumentasi teman-teman yang sangat seru dan bermutu.
Boleh saya titipkan satu pertanyaan? Untuk lebih meriahkan kelahiran pemikiran cemerlang teman-teman.
Why do educational organizations and or systems fail learn?
Satu hint: educational systems are walking a tight rope.
They claim to be the guardians of values and norms and maintain high levels of growth and progress to match the wants and the needs. But, on the other side, they are also agents of change. An interesting tug of war between conservatism and progressivism
Sorry, to take up so much time to read all these words. Kata Shakespeare: “Words, words, nothing but words”.
OD (13 April 2010): At the end of the day, Pak Hari dan teman-teman, bila mengarahkan pandangan ke luar, ke masalah yang dihadapi pendidikan teknik penerbangan, pendidikan aerospace and engineering sciences, atau pendidikan bidang apa saja di kampus Ganesha (dan di kampus-kampus lain di seluruh dunia?) apakah pendidikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mendidik dan membangun the link and match, the economical slave at the most? Atau secara universal, mendidik seseorang individu untuk menemukan dirinya, memperkayakan dirinya dengan ilmu, pengetahuan dan teknologi, seorang intelektual yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memperoleh ilmu, pengetahuan dan teknologi yang diperlukannya di dalam post campus life, sebagai manusia, sebagai professional, sebagai intelektual, sebagai leader.
Thus, a learning individual, seseorang yang selalu ingin tahu, curious, creative, inventive, innovative? Dengan pandangan hidup atau mindset discovery, understanding, knowledge and knowhow, sebagai mesiu menghadapi penyelesaian his problems of life, his and others (the society, and why not, mankind as a whole), as well.
Mungkin anda, Hari dan teman-teman adalah ‘a learning man, a learning society, a learning may be one of the solutions for future learning educations’. Hari, your efforts to build up your Maestro Concept is a truly worthy experiment (you still have to prove your concept, right?) in finding the right way, the right learning climate, the right curriculum, the right educators (bukan hanya pengajar?!), to produce learning individuals, a learning community, society, and why not, a learning nation.
Bila benar, maka tantangannya adalah menciptakan kampus yang dapat mencapai the ideal learning process in a very dynamic changing world.
And yes we can, bila kita berani berenang melawan arus sederas tsunami.
Pak hari dan temans, kembali seperti biasa rangkaian kata-kata yang membosankan, karena saya yakin alumni teknik penerbangan sudah mengerti hal-hal di atas ini.
Masalahnya adalah masalah Brutus ….. that the fault is not in ourselves, but in the stars, that we are but underlings.
And captives of a jurassic park era mindset. So, to create or not to create our future. That is the question. But again, yes we can.
Disarikan oleh AriefYudhanto GN (PN-97)
Assalamu’alaikum mas.
Jika mas ingin membuat Blog mas cepat terkenal, silahkan lihat di sini Dijamin 100% berhasil http://bendeddy.wordpress.com/2010/05/10/inilah-10-langkah-praktis-membuat-blog-anda-cepat-terkenal/
Insyaallah, ini adalah terobosan terbaru. Dan liat segera hasilnya, mencengangkan..!!
Salam kenal,
Dedhy Kasamuddin